Sunday, October 09, 2011

Berkah Ber-Qurban

Album Foto :
kandang hewan qurban

Seputar Ibadah Qurban

SEPUTAR IBADAH QURBAN


Qurban dalam bahasa Arab artinya dekat, ibadah qurban artinya  menyembelih hewan sebagai ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah.  Ibadah qurban disebut juga “udzhiyah” artinya hewan yang disembelih  sebagai qurban. Ibadah qurban disinggung oleh al-Qur’an surah  al-Kauthar “Maka dirikanlah shalat untuk Tuhanmu dan menyembelihlah”.
Keutamaan  qurban dijelaskan oleh sebuah hadist A’isyah, Rasulullah s.a.w.  bersabda “Sebaik-baik amal bani adam bagi Allah di hari iedul adha  adalah menyembelih qurban. Di hari kiamat hewan-hewan qurban tersebut  menyertai bani adam dengan tanduk-tanduknya, tulang-tulang dan bulunya,  darah hewan tersebut diterima oleh Allah sebelum menetes ke bumi dan  akan membersihkan mereka yang melakukannya” (H.R. Tirmizi, Ibnu Majah).  Dalam riwayat Anas bin Malik, Rasulullah menyembelih dua ekor domba  putih bertanduk, beliau meletakkan kakinya di dekat leher hewan  tersebut lalu membaca basmalah dan bertakbir dan menyembelihnya” (H.R.  Tirmizi dll).
Hukum ibadah qurban, Mazhab Hanafi mengatakan  wajib dengan dalil hadist Abu Haurairah yang menyebutkan Rasulullah  s.a.w. bersabda “Barangsiapa mempunyai kelonggaran (harta), namun ia  tidak melaksanakan qurban, maka jangan lah ia mendekati masjidku” (H.R.  Ahmad, Ibnu Majah). Ini menunjukkan seuatu perintah yang sangat kuat  sehingga lebih tepat untuk dikatakan wajib.
Mayoritas ulama  mengatakan hukum qurban sunnah dan dilakukan setiap tahun bagi yang  mampu. Mazhab syafi’i mengatakan qurban hukumnya sunnah ‘ain (menjadi  tanggungan individu) bagi setiap individu sekali dalam seumur dan  sunnah kifayah bagi sebuah keluarga besar, menjadi tanggungan seluruh  anggota keluarga, namun kesunnahan tersebut terpenuhi bila salah satu  anggota keluarga telah melaksanakannya. Dalil yang melandasi pendapat  ini adalah riwayat Umi Salamh, Rasulullah s.a.w. bersabda “Bila kalian  melihat hilal dzul hijjah dan kalian menginginkan menjalankan ibadah  qurban, maka janganlah memotong bulu dan kuku hewan yang hendak  disembelih” (H.R. Muslim dll), hadist ini mengaitkan ibadah qurban  dengan keinginan yang artinya bukan kewajiban. Dalam riwayat Ibnu ABbas  Rasulullah s.a.w. mengatakan “Tiga perkara bagiku wajib, namun bagi  kalian sunnah, yaitu shalat witir, menyembelih qurban dan shalat iedul  adha” (H.R. Ahmad dan Hakim).
Qurban disunnahkan kepada yang  mampu. Ukuran kemampuan tidak berdasarkan kepada nisab, namun kepada  kebutuhan per individu, yaitu apabila seseorang setelah memenuhi  kebutuhan sehari-harinya masih memiliki dana lebih dan mencukupi untuk  membeli hewan qurban, khususnya di hari raya iedul adha dan tiga hari  tasyriq.
Dalam beribadah qurban harus disertai niyat berqurban  untuk Allah atas nama dirinya. Berqurban atas nama orang lain menurut  mazhab Syafi’i mengatakan tidak sah tanpa seizin orang tersebut,  demikian atas nama orang yang telah meninggal tidak sah bila tanpa  dasar wasiat. Ulama Maliki mengatakan makruh berqurban atas nama orang  lain. Ulama Hanafi dan Hanbali mengatakan sah saja berqurban untuk  orang lain yang telah meninggal dan pahalanya dikirimkan kepada  almarhum.
Dalam menyembelih qurban disunnahkan membaca  bismillah, membaca sholawat untuk Rasulullah, menghadapkan hewan ke  arah kiblat waktu menyembelih, membaca takbir sebelum basmalah dan  sesudahnya sarta berdoa ” Ya Allah qurban ini dariMu dan untukMu”.
Wallohu ‘alam bissawab
Sumber : http://www.dudung.net/artikel-islami/seputar-ibadah-qurban.html

===================================================================================


SESUNGGUHNYA QURBAN KAMI UNTUK ALLAH SWT

Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. (QS.6:162)
Dalam istilah ilmu fiqih hewan qurban biasa disebut dengan nama Al Udh-hiyah. Udh-hiyah adalah hewan ternak yang disembelih pada hari Iedul Adha dan hari Tasyriq dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah karena datangnya hari raya tersebut (lihat Al Wajiz, 405 dan Shahih Fiqih Sunnah II/366)
Keutamaan Qurban
Dari Aisyah r.a. Rasulullah s.a.w. bersabda:”Amal yang paling disukai Allah pada hari penyembelihan adalah mengalirkan darah hewan qurban, sesungguhnya hewan yang diqurbankan akan datang (dengan kebaikan untuk yang melakukan qurban) di hari kiamat kelak dengan tanduk-tanduknya, bulu dan tulang-tulangnya, sesunguhnya (pahala) dari darah hewan qurban telah datang dari Allah sebelum jatuh ke bumi, maka lakukanlah kebaikan ini”.(H.R. Tirmidzi).
Hadist Ibnu Abbas Rasulullah bersabda:”Tiada sedekah uang yang lebih mulia dari yang dibelanjakan untuk qurban di hari raya Adha“(H.R. DaruQutni).
Menyembelih qurban termasuk amal salih yang paling utama.
Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu‘anha menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah anak Adam melakukan suatu amalan pada hari Nahr (Iedul Adha) yang lebih dicintai oleh Allah melebihi mengalirkan darah (qurban), maka hendaknya kalian merasa senang karenanya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Hakim dengan sanad shohih. Lihat Taudhihul Ahkam, IV/450)
Banyak ulama menjelaskan bahwa menyembelih hewan qurban pada hari idul Adha lebih utama daripada sedekah yang senilai dengan harga hewan qurban atau bahkan sedekah yang lebih banyak dari pada nilai hewan qurban. Karena maksud terpenting dalam berqurban adalah mendekatkan diri kepada Allah. Di samping itu, menyembelih qurban lebih menampakkan syi’ar islam dan lebih sesuai dengan sunnah. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah 2/379 & Syarhul Mumthi’ 7/521)
Hukum Qurban
Dalam hal ini para ulama terbagi dalam dua pendapat. Ada yang mengatakan hukumnya wajib bagi orang yang berkecukupan dan ada pula yang mengatakan hukumnya sunnah mu’akkad (ditekankan). Sebagian ulama memberikan jalan keluar dari perselisihan ini dengan menasehatkan, “…selayaknya bagi mereka yang mampu, tidak meninggalkan berqurban. Karena dengan berqurban akan lebih menenangkan hati dan melepaskan tanggungan, wallahu a’lam.” (Tafsir Adwa’ul bayan, 1120).
Yakinlah…! bagi mereka yang berqurban, Allah akan segera memberikan ganti biaya qurban yang dia keluarkan. Karena setiap pagi Allah mengutus dua malaikat, yang satu berdo’a: “Yaa Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfaq.” Dan yang kedua berdo’a: “Yaa Allah, berikanlah kehancuran bagi orang yang menahan hartanya (pelit).” (HR. Bukhari 1374 & Muslim 1010).
Hewan Yang Boleh Digunakan Untuk Qurban
Hewan qurban hanya boleh dari kalangan Bahiimatul Al An’aam (hewan ternak tertentu) yang terdiri dari onta, sapi atau kambing dan tidak boleh selain itu. Bahkan sekelompok ulama menukilkan adanya ijma’ kesepakatan) bahwasanya qurban tidak sah kecuali dengan hewan-hewan tersebut (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/369 dan Al Wajiz 406)
Seekor Kambing Untuk Satu Keluarga
Seekor kambing cukup untuk qurban satu keluarga, dan pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga meskipun jumlahnya banyak atau bahkan yang sudah meninggal dunia. Sebagaimana hadits Abu Ayyub radhiyallahu’anhu yang mengatakan, ”Pada masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai qurban bagi dirinya dan keluarganya.” (HR. Tirmidzi dan beliau menilainya shahih. Lihat Minhaajul Muslim, 264 dan 266).
Oleh karena itu, tidak selayaknya seseorang mengkhususkan qurban untuk salah satu anggota keluarganya tertentu, misalnya kambing 1 untuk anak si A, kambing 2 untuk anak si B… karunia dan kemurahan Allah sangat luas maka tidak perlu dibatasi.
Bahkan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berqurban untuk dirinya dan seluruh umatnya. Suatu ketika beliau hendak menyembelih kambing qurban. Sebelum menyembelih beliau mengatakan, “Yaa Allah ini – qurban – dariku dan dari umatku yang tidak berqurban.” (HR. Abu Daud 2810 & Al Hakim 4/229 dan dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 4/349).
Berdasarkan hadits ini, Syaikh Ali bin Hasan Al Halaby mengatakan, “Kaum muslimin yang tidak mampu berqurban, mendapatkan pahala sebagaimana orang berqurban dari umat Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam.”
Adapun yang dimaksud: “…kambing hanya boleh untuk satu orang, sapi untuk tujuh orang, dan onta 10 orang…” maksudnya adalah biaya pengadaannya. Biaya pengadaan kambing hanya boleh dari satu orang, biaya pengadaan sapi hanya boleh dari maksimal tujuh orang, dst.
Ketentuan Untuk Sapi & Onta
Seekor sapi dijadikan qurban untuk 7 orang. Sedangkan seekor onta untuk 10 orang. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu beliau mengatakan, ”Dahulu kami penah bersafar bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam lalu tibalah hari raya Iedul Adha maka kami pun berserikat sepuluh orang untuk qurban seekor onta. Sedangkan untuk seekor sapi kami berserikat sebanyak tujuh orang.” (Shahih Sunan Ibnu Majah 2536, Al Wajiz, hal. 406).
Dalam masalah pahala, ketentuan qurban sapi sama dengan ketentuan qurban kambing. Artinya urunan 7 orang untuk qurban seekor sapi, pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga dari 7 orang yang ikut urunan.
Wallahu a’lam.
sumber : http://rumahmadina.com/blog-artikel-islam/sesungguhnya-qurban-kami-untuk-allah-swt/

==================================================================================


“Sudah qurban koq malah dijual?”

Sebagian orang yang tidak mengerti akan hikmah disyariatkannya penyembelihan qurban setelah hewan disembelih daging, kepala, kulit atau kikilnya dijual.
Ketika Imam Ahmad di tanya tentang orang yang menjual daging qurban, ia terperanjat, seraya berkata, “Subhanallah, bagaimana dia berani menjualnya padahal hewan tersebut telah ia persembahkan untuk Allah tabaraka wa taala“.
Secara logika suatu barang yang telah anda berikan kepada orang lain bagaimana mungkin anda menjualnya lagi.
Imam Syafi’i juga berkata,” Jika ada yang bertanya kenapa dilarang menjual daging qurban padahal boleh dimakan? Jawabnya, hewan qurban adalah persembahan untuk Allah. Setelah hewan itu dipersembahkan untukNya, manusia pemilik hewan tidak punya wewenang apapun atas hewan tersebut, karena telah menjadi milik Allah. Maka Allah hanya mengizinkan daging hewan untuk dimakan. Maka hukum menjualnya tetap dilarang karena hewan itu bukan lagi menjadi milik yang berqurban”. Oleh karena itu para ulama melarang menjual bagian apapun dari hewan qurban yang telah disembelih; daging, kulit, kikil, gajih, kepala dan anggota tubuh lainnya. Mereka melarangnya berdasarkan dalil-dalil berikut :
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barang siapa yang menjual kulit hewan qurbannya maka qurbannya tidak diterima.” (HR. Hakim dan Baihaqi. Hadis ini dishahihkan oleh Al Bani)
Hadis di atas sangat tegas melarang untuk menjual qurban sekalipun kulitnya, karena berakibat kepada tidak diterimanya qurban dari pemilik hewan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Janganlah kalian jual daging hewan hadyu (hewan yang dibawa oleh orang yang haji ke Mekkah untuk disembelih di tanah haram), juga jangan dijual daging qurban. Makanlah dan sedekahkanlah serta pergunakan kulitnya.” (HR. Ahmad. Al Haitami berkata: hadis ini mursal shahih sanad). Hadis ini juga tegas melarang menjual daging hewan qurban.
Ali bin Abi Thalib berkata,” Nabi memerintahkanku untuk menyembelih unta hewan qurban miliknya, dan Nabi memerintahkan agar aku tidak memberi apapun kepada tukang potong sebagai upah pemotongan”. (HR. Bukhari)
Hadits ini juga menunjukkan bahwa tidak boleh diberikan bagian apapun dari anggota tubuh hewan qurban kepada tukang potong sebagai imbalan atas kerjanya memotong hewan. Bila saja upah tukang potong tidak boleh diambilkan dari hewan qurban apatah lagi menjualnya kepada orang lain.
Begitu juga orang yang bekerja sebagai panitia qurban tidak boleh mengambil upah dari hewan qurban. Bila menginginkah upah mengurus qurban mintalah kepada pemilik qurban berupa uang.
Cara bertaubat dari menjual daging qurban
Bagi orang-orang yang terlanjur menjual hewan qurbannya hendaklah bertaubat kepada Allah atas dosanya ini sesegera mungkin. Dan untuk kesempurnaan taubatnya ia harus membatalkan penjualannya, karena akad penjualannya tidak sah, dengan cara daging diminta kembali dan uang pembeli dikembalikan.
Jika tidak memungkinkan karena daging sudah berpindah tangan ke orang ke tiga atau telah diolah maka penjualnya wajib mensedekahkan uang hasil penjualan daging tersebut karena uang hasil akad jual beli tidak sah termasuk harta yang tidak halal.
Catatan:
Larangan menjual menjual daging qurban khusus untuk orang yang berqurban atau orang yang diwakilkan untuk mengurus qurban (panitia qurban). Adapun orang menerima sedekah hewan qurban (fakir miskin) atau orang yang dihadiahi qurban (para kerabat dan tetangga) boleh menjualnya, karena status mereka telah memiliki daging yang disedekahi dan barang yang telah dimiliki boleh dijual belikan.
Ad Dasuqi (ulama mazhab Malik, wafat: 1230H) berkata,” Dilarang menjual bagian apapaun dari hewan qurban … kecuali orang yang menerima hadiah atau sedekah daging qurban maka ia tidak dilarang untuk menjualnya, sekalipun orang yang memberikan daging qurban tahu bahwa ia akan menjualnya saat diberikan”.
Tulisan di atas kami ringkas dari tulisan Ustadz Erwandi Tarmizi MA, kandidat Doctoral dalam bidah Ushul Fikih di Jami’ah Al Imam Muhammad bin Su’ud Riyadh, KSA.
sumber : www.rumaysho.com

“Bolehkah Menjual Kulit Hasil Sembelihan Qurban?”
Muhammad Abduh Tuasikal
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti petunjuk mereka hingga akhir zaman.
Dalam pemanfaatan hasil sembelihan qurban, seringkali kali kita saksikan beberapa hal yang dinilai kurang tepat menurut kacamata syari’at. Beberapa pelanggaran dalam ibadah ini sering terjadi, mungkin saja karena belum sampainya ilmu kepada orang yang melakukan ibadah qurban. Dalam tulisan kali ini -dengan taufik dan pertolongan Allah-, kami berusaha menjelaskan bagaimana pemanfaatan hasil sembelihan qurban yang tepat yang sesuai dengan tuntunan syari’at, juga bagaimanakah penilaian syariat terhadap praktek kaum muslimin saat ini dalam hal jual kulit hasil sembelihan qurban. Semoga Allah memberi kemudahan dan memberi taufik bagi siapa saja yang membaca risalah ini.
Pemanfaatan Hasil Sembelihan Qurban yang Dibolehkan
Allah Ta’ala berfirman,
لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” (QS. Al Hajj: 28)
Dalam hadits dari Salamah bin Al Akwa’ radhiyallahu, ia berkata bahwa Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« مَنْ ضَحَّى مِنْكُمْ فَلاَ يُصْبِحَنَّ بَعْدَ ثَالِثَةٍ وَفِى بَيْتِهِ مِنْهُ شَىْءٌ » . فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ نَفْعَلُ كَمَا فَعَلْنَا عَامَ الْمَاضِى قَالَ « كُلُوا وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُوا فَإِنَّ ذَلِكَ الْعَامَ كَانَ بِالنَّاسِ جَهْدٌ فَأَرَدْتُ أَنْ تُعِينُوا فِيهَا »
”Barangsiapa di antara kalian berqurban, maka janganlah ada daging qurban yang masih tersisa dalam rumahnya setelah hari ketiga.” Ketika datang tahun berikutnya, para sahabat mengatakan, ”Wahai Rasulullah, apakah kami harus melakukan sebagaimana tahun lalu?” Maka beliau menjawab, ”(Adapun sekarang), makanlah sebagian, sebagian lagi berikan kepada orang lain dan sebagian lagi simpanlah. Pada tahun lalu masyarakat sedang mengalami paceklik sehingga aku berkeinginan supaya kalian membantu mereka dalam hal itu.”[1]
Jika kita melihat dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam memerintahkan pada shohibul qurban untuk memakan daging qurban, memberi makan pada orang lain dan menyimpan daging qurban yang ada. Namun apakah perintah di sini wajib? Jawabnya, perintah di sini tidak wajib. Alasannya, perintah ini datang setelah adanya larangan. Dan berdasarkan kaedah Ushul Fiqih, ”Perintah setelah adanya larangan adalah kembali ke hukum sebelum dilarang.[2]” Hukum makan dan menyimpan daging qurban sebelum adanya larangan tersebut adalah mubah. Sehingga hukum shohibul qurban memakan daging qurban, memberi makan pada orang lain dan menyimpannya adalah mubah.
Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Fathul Bari mengatakan,
وَقَوْله ” كُلُوا وَأَطْعِمُوا ” تَمَسَّكَ بِهِ مَنْ قَالَ بِوُجُوبِ الْأَكْل مِنْ الْأُضْحِيَّة ، وَلَا حُجَّة فِيهِ لِأَنَّهُ أَمْر بَعْد حَظْر فَيَكُون لِلْإِبَاحَةِ
Sebagian orang yang berpendapat bahwa shohibul qurban wajib memakan sebagian daging qurbannya beralasan dengan perintah Nabi –shallallahu ’alaihi wa sallam- ”makanlah dan berilah makan” dalam hadits di atas. Namun sebenarnya mereka tidak memiliki dalil yang jelas. Karena perintah tersebut datang setelah adanya larangan, maka dihukumi mubah (boleh).
Dalam hadits ini kita juga mengetahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melarang menyimpan daging qurban lebih dari tiga hari. Hal itu agar umat Islam pada saat itu menshodaqohkan kelebihan daging qurban yang ada. Namun larangan tersebut kemudian dihapus. Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tegas menghapus larangan tersebut dan menyebutkan alasannya. Beliau bersabda,
« كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ لُحُومِ الأَضَاحِى فَوْقَ ثَلاَثٍ لِيَتَّسِعَ ذُو الطَّوْلِ عَلَى مَنْ لاَ طَوْلَ لَهُ فَكُلُوا مَا بَدَا لَكُمْ وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُوا ». قَالَ وَفِى الْبَابِ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ وَعَائِشَةَ وَنُبَيْشَةَ وَأَبِى سَعِيدٍ وَقَتَادَةَ بْنِ النُّعْمَانِ وَأَنَسٍ وَأُمِّ سَلَمَةَ. قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ بُرَيْدَةَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ.
Dulu aku melarang kalian dari menyimpan daging qurban lebih dari tiga hari agar orang yang memiliki kecukupan memberi keluasan kepada orang yang tidak memiliki kecukupan. Namun sekarang, makanlah semau kalian, berilah makan, dan simpanlah.[3] Setelah menyebutkan hadits ini, At Tirmidzi mengatakan,
وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- وَغَيْرِهِمْ.
Hadits ini telah diamalkan oleh para ulama dari sahabat  Nabi dan selain mereka.
Apakah Mesti Ada Pembagian 1/3 – 1/3?
Syaikh Abu Malik dalam Shahih Fiqh Sunnah memberikan keterangan, “Kebanyakan ulama menyatakan bahwa orang yang berqurban disunnahkan bersedekah dengan sepertiga hewan qurban, memberi makan dengan sepertiganya dan sepertiganya lagi dimakan oleh dirinya dan keluarga. Namun riwayat-riwayat tersebut sebenarnya adalah riwayat yang lemah. Sehingga yang lebih tepat hal ini dikembalikan pada keputusan orang yang berqurban (shohibul qurban). Seandainya ia ingin sedekahkan seluruh hasil qurbannya, hal itu diperbolehkan. Dalilnya, dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ’anhu,
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – أَمَرَهُ أَنْ يَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ ، وَأَنْ يَقْسِمَ بُدْنَهُ كُلَّهَا ، لُحُومَهَا وَجُلُودَهَا وَجِلاَلَهَا ] فِى الْمَسَاكِينِ[  ، وَلاَ يُعْطِىَ فِى جِزَارَتِهَا شَيْئًا
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam memerintahkan dia untuk mengurusi unta-unta hadyu. Beliau memerintah untuk membagi semua daging qurbannya, kulit dan jilalnya (kulit yang ditaruh pada punggung unta untuk melindungi dari dingin) untuk orang-orang miskin. Dan beliau tidak diperbolehkan memberikan bagian apapun dari qurban itu kepada tukang jagal (sebagai upah).[4][5] Dalam hadits ini terlihat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai menyedekahkan seluruh hasil sembelihan qurbannya kepada orang miskin.
Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) mengatakan,  “Hasil sembelihan qurban dianjurkan dimakan oleh shohibul qurban. Sebagian lainnya diberikan kepada faqir miskin untuk memenuhi kebutuhan mereka pada hari itu. Sebagian lagi diberikan kepada kerabat agar lebih mempererat tali silaturahmi. Sebagian lagi diberikan pada tetangga dalam rangka berbuat baik. Juga sebagian lagi diberikan pada saudara muslim lainnya agar semakin memperkuat ukhuwah.”[6]
Dalam fatwa lainnya, Al Lajnah Ad Da-imah menjelaskan bolehnya pembagian hasil sembelihan qurban tadi lebih atau kurang dari 1/3. Mereka menjelaskan, “Adapun daging hasil sembelihan qurban, maka lebih utama sepertiganya dimakan oleh shohibul qurban; sepertiganya lagi dihadiahkan pada kerabat, tetangga, dan sahabat dekat; serta sepertiganya lagi disedekahkan kepada fakir miskin. Namun jika lebih/ kurang dari sepertiga atau diserahkan pada sebagian orang tanpa lainnya (misalnya hanya diberikan pada orang miskin saja tanpa yang lainnya, pen), maka itu juga tetap diperbolehkan. Dalam masalah ini ada kelonggaran.”[7]
Intinya, pemanfaatan hasil sembelihan qurban yang dibolehkan adalah:
  1. Dimakan oleh shohibul qurban.
  2. Disedekahkan kepada faqir miskin untuk memenuhi kebutuhan mereka.
  3. Dihadiahkan pada kerabat untuk mengikat tali silaturahmi, pada tetangga dalam rangka berbuat baik dan pada saudara muslim lainnya agar memperkuat ukhuwah.
Bolehkah Memberikah Hasil Sembelihan Qurban pada Orang Kafir?
Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) pernah diajukan pertanyaan: Bolehkah daging qurban hasil sembelihan atau sesuatu yang termasuk sedekah diserahkan pada orang kafir?
Jawaban ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Da-imah: “Orang kafir boleh diberi hewan hasil sembelihan qurban, asalkan ia bukan kafir harbi (yaitu bukan kafir yang diajak perang) …. Dalil hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah: 8). Alasan lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan pada Asma’ binti Abi Bakr agar menyambung hubungan baik dengan ibunya padahal ibunya adalah seorang musyrik sebagaimana diriwayatkan oleh Al Bukhari[8].”[9]
Kesimpulan: Memberikan hasil hewan qurban kepada orang kafir (asalkan bukan kafir harbi) dibolehkan karena status hewan qurban sama dengan sedekah atau hadiah. Dan kita diperbolehkan memberikan sedekah maupun hadiah kepada siapa saja termasuk orang kafir. Sedangkan pendapat yang melarang adalah pendapat yang tidak kuat karena tidak berdalil.
Pemanfaatan Hasil Sembelihan Qurban yang Terlarang
Ada dua bentuk pemanfaatan hasil sembelihan qurban yang terlarang, yaitu [1] Menjual sebagian dari hasil sembelihan qurban dan [2] Memberi upah pada jagal dari hasil sembelihan qurban. Berikut penjelasannya.
Larangan pertama: Menjual sebagian dari hasil sembelihan qurban baik berupa kulit, wol, rambut, daging, tulang dan bagian lainnya.
Dalil terlarangnya hal ini adalah hadits Abu Sa’id, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَلاَ تَبِيعُوا لُحُومَ الْهَدْىِ وَالأَضَاحِىِّ فَكُلُوا وَتَصَدَّقُوا وَاسْتَمْتِعُوا بِجُلُودِهَا وَلاَ تَبِيعُوهَا
Janganlah menjual hewan hasil sembelihan hadyu[10] dan sembelian udh-hiyah (qurban).Tetapi makanlah, bershodaqohlah, dan gunakanlah kulitnya untuk bersenang-senang, namun jangan kamu menjualnya.” Hadits ini adalah hadits yang dho’if (lemah).[11]
Walaupun hadits di atas dho’if, menjual hasil sembelihan qurban tetap terlarang. Alasannya, qurban disembahkan sebagai bentuk taqorrub pada Allah yaitu mendekatkan diri pada-Nya sehingga tidak boleh diperjualbelikan. Sama halnya dengan zakat. Jika harta zakat kita telah mencapai nishob (ukuran minimal dikeluarkan zakat) dan telah memenuhi haul (masa satu tahun), maka kita harus serahkan kepada orang yang berhak menerima tanpa harus menjual padanya. Jika zakat tidak boleh demikian, maka begitu pula dengan qurban karena sama-sama bentuk taqorrub pada Allah. Alasan lainnya lagi adalah kita tidak diperkenankan memberikan upah kepada jagal dari hasil sembelihan qurban sebagaimana nanti akan kami jelaskan.[12]
Dari sini, tidak tepatlah praktek sebagian kaum muslimin ketika melakukan ibadah yang satu ini dengan menjual hasil qurban termasuk yang sering terjadi adalah menjual kulit. Bahkan untuk menjual kulit terdapat hadits khusus yang melarangnya. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَّتِهِ فَلاَ أُضْحِيَّةَ لَهُ
Barangsiapa menjual kulit hasil sembelihan qurban, maka tidak ada qurban baginya.”[13] Maksudnya, ibadah qurbannya tidak ada nilainya.
Larangan menjual hasil sembelihan qurban adalah pendapat para Imam Asy Syafi’i dan Imam Ahmad. Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Binatang qurban termasuk nusuk (hewan yang disembelih untuk mendekatkan diri pada Allah). Hasil sembelihannya boleh dimakan, boleh diberikan kepada orang lain dan boleh disimpan. Aku tidak menjual sesuatu dari hasil sembelihan qurban (seperti daging atau kulitnya, pen). Barter antara hasil sembelihan qurban dengan barang lainnya termasuk jual beli.”[14]
Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat dibolehkannya menjual hasil sembelihan qurban, namun hasil penjualannya disedekahkan.[15] Akan tetapi, yang lebih selamat dan lebih tepat, hal ini tidak diperbolehkan berdasarkan larangan dalam hadits di atas dan alasan yang telah disampaikan. Wallahu a’lam.
Catatan penting yang perlu diperhatikan: Pembolehan menjual hasil sembelihan qurban oleh Abu Hanifah adalah ditukar dengan barang karena seperti ini masuk kategori pemanfaatan hewan qurban menurut beliau. Jadi beliau tidak memaksudkan jual beli di sini adalah menukar dengan uang. Karena menukar dengan uang secara jelas merupakan penjualan yang nyata. Inilah keterangan dari Syaikh Abdullah Ali Bassam dalam Tawdhihul Ahkam[16] dan Ash Shon’ani dalam Subulus Salam[17]. Sehingga tidak tepat menjual kulit atau bagian lainnya, lalu mendapatkan uang sebagaimana yang dipraktekan sebagian panitia qurban saat ini. Mereka sengaja menjual kulit agar dapat menutupi biaya operasional atau untuk makan-makan panitia.
Mengenai penjualan hasil sembelihan qurban dapat kami rinci:
  1. Terlarang menjual daging qurban (udh-hiyah atau pun hadyu) berdasarkan kesepakatan (ijma’) para ulama.[18]
  2. Tentang menjual kulit qurban, para ulama berbeda pendapat:
Pertama: Tetap terlarang. Ini pendapat mayoritas ulama berdasarkan hadits di atas. Inilah pendapat yang lebih kuat karena berpegang dengan zhahir hadits (tekstual hadits) yang melarang menjual kulit sebagaimana disebutkan dalam riwayat Al Hakim. Berpegang pada pendapat ini lebih selamat, yaitu terlarangnya jual beli kulit secara mutlak.
Kedua: Boleh, asalkan ditukar dengan barang (bukan dengan uang). Ini pendapat Abu Hanifah. Pendapat ini terbantah karena menukar juga termasuk jual beli. Pendapat ini juga telah disanggah oleh Imam Asy Syafi’i dalam Al Umm (2/351). Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Aku tidak suka menjual daging atau kulitnya. Barter hasil sembelihan qurban dengan barang lain juga termasuk jual beli.” [19]
Ketiga: Boleh secara mutlak. Ini pendapat Abu Tsaur sebagaimana disebutkan oleh An Nawawi[20]. Pendapat ini jelas lemah karena bertentangan dengan zhahir hadits yang melarang menjual kulit.
Sebagai nasehat bagi yang menjalani ibadah qurban: Hendaklah kulit tersebut diserahkan secara cuma-cuma kepada siapa saja yang membutuhkan, bisa kepada fakir miskin atau yayasan sosial. Setelah diserahkan kepada mereka, terserah mereka mau manfaatkan untuk apa. Kalau yang menerima kulit tadi mau menjualnya kembali, maka itu dibolehkan. Namun hasilnya tetap dimanfaatkan oleh orang  yang menerima kulit qurban tadi dan bukan dimanfaatkan oleh shohibul qurban atau panitia qurban (wakil shohibul qurban).
Larangan kedua: Memberi upah pada jagal dari hasil sembelihan qurban.
Dalil dari hal ini adalah riwayat yang disebutkan oleh ‘Ali bin Abi Tholib,
أَمَرَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لاَ أُعْطِىَ الْجَزَّارَ مِنْهَا قَالَ « نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا ».
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk mengurusi unta-unta qurban beliau. Aku mensedekahkan daging, kulit, dan jilalnya (kulit yang ditaruh pada punggung unta untuk melindungi dari dingin). Aku tidak memberi sesuatu pun dari hasil sembelihan qurban kepada tukang jagal. Beliau bersabda, “Kami akan memberi upah kepada tukang jagal dari uang kami sendiri”.”[21]
Dari hadits ini, An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Tidak boleh memberi tukang jagal sebagian hasil sembelihan qurban sebagai upah baginya. Inilah pendapat ulama-ulama Syafi’iyah, juga menjadi pendapat Atho’, An Nakho’i, Imam Malik, Imam Ahmad dan Ishaq.”[22]
Namun sebagian ulama ada yang membolehkan memberikan upah kepada tukang jagal dengan kulit semacam Al Hasan Al Bashri. Beliau mengatakan, “Boleh memberi jagal upah dengan kulit.”  An Nawawi lantas menyanggah pernyataan tersebut, “Perkataan beliau ini telah membuang sunnah.”[23]
Sehingga yang tepat, upah jagal bukan diambil dari hasil sembelihan qurban. Namun shohibul qurban hendaknya menyediakan upah khusus dari kantongnya sendiri untuk tukang jagal tersebut.
Demikian pembahasan kami seputar pemanfaatan hasil sembelihan qurban yang terlarang dan yang dibolehkan. Semoga Allah memudahkan kita beramal sholih dan menjauhkan dari apa yang Dia larang. Semoga Allah memberikan kita petunjuk, sikap takwa, keselamatan dan kecukupan.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan siapa saja yang mengikuti petunjuk mereka dengan baik hingga hari kiamat.

Al Faqir Ilallah: Muhammad Abduh Tuasikal
sumber : http://rumaysho.com
Pangukan, Sleman, 29 Dzulqo’dah 1430 H

Pelayanan Qurban dan Aqiqah :")


    BERKAH QURBAN
         PENYALUR DAN MENYEDIAKAN HEWAN QURBAN, SAH SESUAI SYARIAT ISLAM
     JL. PENGADEGAN TIMUR IV, RT 09, RW 001 NO. 1, JAKARTA – SELATAN

hubungi Arya Yoga Rudhita : 0858 9044 9433 / 021-91273135 (esia)
Hari kerja dan hari libur, jam 07.00 – 21.00
Alamat Kantor Bekasi :

Jenis Hewan Qurban


penawaran harga hewan Qurban sebagai berikut :
SAPI A ( LIMOSIN )
Berat Hidup ± 400 kg
Tulang daging±300 kg
————————————————-Rp 20 juta
SAPI B ( METAL )
Berat Hidup ± 300 kg
Tulang daging±200 kg
————————————————-Rp 15 juta
SAPI C ( JAWA )
Berat Hidup ± 250 kg
Tulang daging± 150 kg
————————————————-Rp 10 juta
SAPI D ( LOKAL )
Berat Hidup ± 200 kg
Tulang daging± 100 kg
————————————————-Rp 9 juta
KAMBING A ( BENGGALA )
Berat Hidup ± 100 kg
Tulang daging±80 kg
————————————————-Rp 2 juta
KAMBING B ( BENGGALA )
Berat Hidup ± 80 kg
Tulang daging± 60 kg
————————————————-Rp 1 juta
KAMBING C ( KACANG )
Berat Hidup ± 60 kg
Tulang daging± 30 – 40 kg
————————————————-Rp 900 Ribu
*) Cara pembayaran : 50% DP setelah diterima 50% setelah pengiriman hewan Qurban
Jika anda berminat dapat menghubungi kami :
Arya Yoga Rudhita : 0858 9044 9433 / 021 912 73135
*) tersedia hewan qurban sapi kelas istimewa : Rp 25 juta, 30 juta.. kondisi hewan qurban bisa dilihat di tempat kami..

Monday, January 11, 2010


a Friend for LIFE
By Made Teddy Artiana(http://www.orang-bali.com)


Sepintas warung itu tidak jauh berbeda dengan warung-warung sederetannya. Bangunannya sama, atapnyapun sama sederhananya. WC nya sama-sama tidak menggunakan keran. Airnya sama-sama terasa membekukan darah. Warung-warung itupun sama-sama memiliki banyak kamar. Memang warung-warung itu berfungsi juga sebagai hotel sederhana. Tempat bernaung sementara bagi mereka para pengunjung dari kota. Tidak ada kasur, atau tempat tidur, yang ada hanya karpet dan tikar sederhana. Etalasenya sama, bahkan makanan yang hidangkan pun tidak jauh berbeda.
Namun cobalah masuk dan perhatikan dinding kayu warung itu. Ada yang unik dengan dinding nya. Hampir disemua dinding warung ini dipenuhi foto-foto unik. Foto mereka pengunjung setia warung ini. Coretan dan tanda tanganpun memenuhi sisi yang sama. Nyaris tidak ada celah yang tersisa, semuanya penuh dengan foto dan coretan. Jauh dari kesan bersih. Mudah ditebak bahwa mereka yang melakukan itu pasti bukan sekedar pengujung iseng, tetapi "member fanatik" warung ini. Fans club, lebih tepatnya. Tidak hanya dinding, pintu, etalase, bangku, pendek kata disetiap ruang kosong, pasti dipenuhi foto, atau paling tidak sebuah tanda tangan. "Agus cs desember 2004" demikian salah satu tulisan dietalase. "Farid, Budi, Indra dipuncak Cimacan" demikian tulisan disisi lain. Jelas coretan-coretan itu berbeda dengan coretan kasar penuh "kemarahan" yang kita temui dipinggir jalan kota. Coretan di warung itu seakan bertutur, "kami adalah keluarga besar". Keakraban, kesetiakawanan dan kerinduan dipantulkan oleh foto dan coretan-coretan itu. Mungkin satu hal yang akhirnya membuat warung ini jadi demikian spesial, adalah pemiliknya.

Mang Idi, demikian panggilan akrab pemilik warung itu. Seperti nama pemiliknya, warung itupun terkenal dengan nama "Warung Mang Idi". Namanya mungkin asing bagi kita, tetapi pastilah tidak asing bagi mereka, para pencinta alam dan pendaki gunung yang kerap mengunjungi Gunung Pangrango. Hampir semua penggemar naik gunung dan hiking pasti mengenal baik Mang Idi. Lelaki separuh baya itu berpenampilan bersahaja. Dia hidup dengan sederhana bersama istri dan anak-anaknya di kaki Gunung Pangrango. Tinggi badan rata-rata orang kebanyakan. Rambut dikepalanya terlihat memutih dihiasi uban. Tatap matanya teduh. Senyumnya yang tulus, jabat tangannya erat dan keramahannya susah untuk dilupakan. Selain aura persahabatan yang kental, hal lain yang mengagumkan pada diri Mang Idi adalah ingatannya pada nama hampir semua tamu-tamunya. Bahkan mereka yang sudah beberapa tahun tidak berkunjung. Tak heran jika kemudian Mang Idi dan warungnya mendapat tempat di hati pengunjung warungnya. Bahkan menurut cerita seorang sahabat, pernah suatu ketika, rumah Mang Idi sempat dilanda angin kecang dan sebagian bangunannya rubuh. Entah siapa yang mengundang, para sahabat dari Jakarta dan berbagai daerahpun berdatangan. Mereka bahu-membahu memperbaiki rumah Mang Idi. Uang dan tenaga bantuan mengalir tanpa diminta. Mereka datang karena markas besar mereka rubuh, mereka datang karena rumah mereka rubuh dan mereka membangunnya hingga tuntas. Mereka datang untuk seorang sahabat. Mereka datang untuk Mang Idi. Sangat mengagumkan, jika menyaksikan kesetiaan dan kerinduan mereka terhadap figur Mang Idi dan warungnya. Seakan warung dan Mang Idi sudah tertanam sedemikian rupa tidak hanya dikepala mereka, tetapi lebih dalam lagi. Tertanam di lubuk hati.

Entah mengapa tiba-tiba saya teringat akan sebuah buku yang ditulis oleh pakar pemasaran terkemuka, Al Ries. The Fall of Advertising and the Rise of PR. Sebuah buku kritis yang mereposisi peran iklan dan PR(Public Relation) suatu perusahaan. Suatu saat nanti, bahkan sudah tiba sekarang-demikian buku itu bertutur-bahwa PR akan berperan lebih efektif dalam pencitraan suatu produk dibandingkan iklan. Menurut Al Ries, strategi PR, selain lebih murah, juga dipandang lebih efektif untuk meninggalkan kesan yang dalam dibenak customer. Kesan terhadap produk, kesan terhadap perusahaan. Demikian menurut AL Ries.

Kembali ke Mang Idi dan warungnya. Jelas, Mang Idi belum pernah membaca buku-buku Al Ries, mendengar nama Al Ries pun belum. Bahkan, berkunjung ke toko buku, untuk sekedar melihat sampul buku teori marketingpun, hampir merupakan sesuatu yang mustahil bagi seorang Mang Idi. Dia tidak mengerti konsep-konsep rumit yang dipaparkan oleh Al Ries. Tetapi mengagumkan, bahwa Mang Idi dan warungnya tidak hanya tertanam di otak customer mereka, tetapi di hati. Secara naluri apa yang ditampilkan Mang Idi, bukan sekedar PR.
Ada perbedaan mendasar antara PR, yang dimaksud Al Ries dan ketulusan versi Mang Idi. Yang satu keluar dari kepala, yang lain muncul dari hati. Yang satu disusun untuk mencapai suatu target, yang lain tanpa dibebani target apapun. Yang satu memerlukan pelatihan dan strategi rumit, sedang yang lain, mudah, hanya membuka hati dengan tulus. Sekilas sama, tetapi mempunyai spirit yang berbeda.

Jadi jika kebetulan Anda punya waktu luang dan ingin bersembunyi sejenak dari kejenuhan dan siksaan rutinitas. Menghindar dari jejalan kesibukan kantor, dari bisingnya gaya hidup metropolitan. Beristirahat dari persaingan yang menyesakkan dada. Cobalah berkunjung ke Gunung Pangrango. Disana Anda akan bertemu dengan air terjun yang indah, danau biru yang ajaib memukau, sungai dingin yang mengalir jernih, hutan belukar yang sejuk, bebatuan yang dingin, suara mahluk rimba yang samar-samar dan gemericik air yang mengalir. Sempatkan juga untuk mampir di warung Mang Idi. Disana Anda akan bertemu ketulusan seseorang sahabat dalam warung sederhana. Jangan lupa untuk membawa foto Anda untuk ditempel didinding itu. Beberapa foto juga boleh, atau jika Anda tidak punya foto, bawalah spidol besar atau mungkin ballpoint, dan coretkan tanda tangan Anda disana. Tetapi berhati-hatilah jangan sampai foto atau coretan Anda menimpa sebuah stiker biru didinding itu. Stiker itu berwarna biru-putih, cukup jelas untuk dibaca. Stiker itu bertuliskan "a Friend for Life". Seorang teman untuk kehidupan, demikian kira-kira artinya. Entah siapa yang menempelkannya disana, tapi tulisan dalam stiker itu hampir merupakan ringkasan dari foto, coretan dan semua peristiwa yang terjadi diwarung itu. Dan jangan lupa, sampaikan salam saya pada Mang Idi. Tolong beritahu dia, saya pasti akan kembali untuk sessi foto berikutnya disana. Air Terjun dan hutan Gunung Pangrango. Menikmati teh manis dan nasi goreng panas ala Mang Idi diselimuti dinginnya kabut dan hujan.
Ternyata benar kata orang bijak, hati hanya dapat dibeli dengan hati.


salam hangat,
MTA (penikmat hidup)
http://www.orang-bali.com/

Wednesday, November 29, 2006

Bahagia Tanpa Syarat



Kadang kita sering terjebak dengan cara pikir seperti ini. Cara berpikir bahwa kebahagiaan itu adalah bersyarat. Contohnya: saya akan bahagia kalau sudah punya rumah sendiri, saya akan bahagia kalau sudah punya mobil, saya akan bahagia kalau punya istri cantik, saya akan bahagia kalau punya anak laki-laki, saya akan bahagia kalau....

Untuk mendapatkan bahagia bersyarat itu kita pun dengan semangat 45 siang malam mengejarnya. Tapi, ada pertanyaan lain. Apakah ada jaminan kalau syarat itu didapat, otomatis kebahagiaan itu juga tercapai? Kalau tidak bagaimana? Padahal kita sudah melakukan segala daya upaya dan pengorbanan untuk mencapainya. Ada orang yang mengorbankan harga dirinya untuk mencapai itu, misalnya dengan korupsi. Ada yang mengorbankan waktu yang berharga dengan keluarga. Ada yang mengorbankan integritas dirinya dengan menjadi penipu dan manipulator demi tujuan itu.

Kita terjebak untuk menempatkan rasa bahagia itu kepada yang bersifat materi dan di luar diri kita. Ada seorang suami yang akhirnya stress setelah membelikan mobil mewah untuk istrinya. Si istri bukannya semakin senang dan bersyukur, malah setiap hari kerjaannya ngedumel terus karena sopir pribadinya banyak tingkah. Ada seorang super kaya yang setiap hari stress memikirkan penampilannya. Dia stress karena tidak ingin berpakaian yang sama setiap hari.

Di sisi lain, ada sebuah keluarga yang berkumpul dan tertawa riang menyaksikan sebuah acara dari sebuah pesawat televisi kecil dan butut. Nampaknya keluarga itu begitu bahagia dan menikmati kegembiraan yang sederhana dan murah meriah itu.

Jadi, pada akhirnya kalau kita menggantungkan kebahagiaan itu kepada sesuatu, apakah itu benda materi, kondisi tertentu, orang lain, niscaya akan kecewa. Kebahagiaan tidak membutuhkan itu semua. Semua itu sudah ada dalam diri kita sendiri. Kebahagiaan itu tidak mahal. Kebahagiaan itu bisa hadir tanpa syarat macam-macam.

Tulisan ini juga sekaligus otokritik bagi diri saya pribadi. Kadang saya juga menemukan diri saya terjebak dalam kondisi ini. Tapi minimal saya sadar, bahwa itu salah dan tidak terjebak di dalam cara berpikir seperti ini.


Badroni Yuzirman

Thursday, November 02, 2006

"Pernahkah Anda merasa benar-benar memiliki sesuatu?"


Saya sungguh kaget ketika seorang sahabat saya mengajukan pertanyaan seperti itu. Sepintas sepertinya teramat mudah untuk menjawabnya, namun saya tak ingin terjebak dalam kalimat yang biasa ia lontarkan. Saya tahu, ia tak pernah bermain-main dengan kata-katanya, dan memang inilah yang membuat saya amat bersyukur menjadi sahabatnya. Perlu Anda tahu, sampai sahabat saya itu pamit meninggalkan saya, saya benar-benar tak mampu menjawab pertanyaan tersebut.

Malam harinya saya terus memikirkan pertanyaan itu, "Pernahkah saya merasa benar-benar memiliki sesuatu?", pertanyaan itu terus berulang-ulang menari di benak saya. Kemudian saya pandangi isteri saya yang sudah tertidur. Saya menikahinya beberapa tahun lalu dan semakin hari cinta saya terhadapnya makin tak ternilai. Sebegitu tingginya, saya sering merasa takut kehilangan dirinya. Tapi, apakah saya benar-benar berhak memilikinya?

Saya melangkah ke kamar anak-anak, dan dua bidadari cantik itu tengah lelap terbuai mimpi. Apapun akan saya lakukan, berapa pun harganya akan saya bayarkan untuk membuat anak-anak saya bahagia. Demikian besar cinta saya terhadap mereka, sehingga saya sering menangis takut kehilangan saat mereka sakit, meski sekadar flu atau badannya terasa hangat. Tapi, apa hak saya merasa takut kehilangan mereka? Apakah mereka benar-benar milik saya?

Dua bulan lalu ketika mengalami kecelakaan motor, kaki dan tangan saya terluka. Tapi entah kenapa ada hati yang tak rela, seolah hati ini terluka lebih parah dari kaki dan tangan saya yang berdarah melihat motor yang belum sebulan saya beli itu rusak berantakan. Bahkan ketika motor itu tergores sedikit, seolah hati ini ikut merasa perih tergores. Bolehkah saya benar-benar merasa seperti itu?

Bisa dibilang saya termasuk orang yang lumayan sering kehilangan telepon selular. Dalam hitungan saya, sudah lima kali saya kehilangan alat komunikasi itu. Waktu pertama kali kehilangan ponsel delapan tahun yang lalu, tubuh saya lemas seperti kehilangan separuh energi. Saya benar-benar seperti kehilangan separuh jiwa saya. Namun untuk kali kesekian saya menjadi terbiasa, nampaknya saya mulai bisa ikhlas ketika ponsel saya hilang untuk kali ketiga, keempat dan kelima. Tapi kenapa sampai detik ini saya masih hapal betul merek, type, dan detil-detil semua ponsel yang pernah hilang itu? Sebegitu dalamkah saya merasa mencintai semua yang pernah saya miliki? Benarkah saya sudah ikhlas untuk semua kehilangan itu?

Maafkan saya sahabat, saya benar-benar belum mampu menjawab pertanyaan itu, setidaknya saat ini. Mungkin nanti menunggu saya memperbaiki tatanan hati saya, agar benar-benar siap jika kelak saya kehilangan sesuatu yang saya miliki saat ini. Saya memang benar-benar takkan pernah selamanya memiliki apa yang pernah saya raih. Semua yang ada saat ini sebelumnya tidak pernah ada, lalu ada dan menjadi milik saya. Namun setiap sesuatu yang awalnya tidak ada, pastilah akan berakhir kepada ketiadaan.

Saya tidak pernah benar-benar membeli sesuatu, semua itu datang karena ada yang memberi. Maka kalau Si Pemberi itu memintanya kembali, tidaklah ada hak saya untuk sakit hati atau kecewa, juga sedih. Berat, tapi saya harus bisa!

Bayu Gawtama
Jeruk Busuk Rasa Manis..



Suatu hari, ketika saya sedang menjenguk salah satu saudara yang tengah dirawat di rumah sakit, terdengar suara makian keras dari pasien sebelah, "Bawa jeruk kok busuk, mau ngeracunin saya? biar saya cepat mati?"

Suara marah itu berasal dari lelaki tua yang kedatangan salah satu keluarganya dengan membawa jeruk. Boleh jadi benar, bahwa beberapa jeruk dalam jinjingan itu busuk atau masam. Meski tidak semua jeruk yang dibawanya itu busuk dan sangat kebetulan yang terambil pertama oleh si pasien yang busuk. Dan tanpa bertanya lagi, marahlah ia kepada si pembawa jeruk.

Sebenarnya, boleh dibilang wajar jika seorang pasien marah lantaran kondisinya labil dan kesehatannya terganggu. Ketika ia marah karena jeruk yang dibawa salah satu keluarganya itu busuk, mungkin itu hanya pemicu dari segunung emosi yang terpendam selama berhari-hari di rumah sakit. Penat, bosan, jenuh, mual, pusing, panas, dan berbagai perasaan yang menderanya selama berhari-hari, belum lagi ditambah dengan bisingnya rumah sakit, perawat yang kadang tak ramah, keluarga yang mulai uring-uringan karena kepala keluarganya sekian hari tak bekerja, semuanya membuat dadanya bergemuruh. Lalu datanglah salah satu saudaranya dengan setangkai ketulusan berjinjing jeruk. Namun karena jeruk yang dibawanya itu tak bagus, marahlah ia.

Wajar. Sekali lagi wajar. Tetapi tidak dengan peristiwa lain yang hampir mirip terjadi di acara keluarga besar belum lama ini. Seorang keluarga yang tengah diberi ujian Allah menjalani kehidupannya dalam ekonomi menengah ke bawah, berupaya untuk tetap berpartisipasi dalam acara keluarga besar tersebut. Tiba-tiba, "Kalau nggak mampu beli jeruk yang bagus, mending nggak usah beli. Jeruk asam gini siapa yang mau makan?" suara itu terdengar di tengah-tengah keluarga dan membuat malu keluarga yang baru datang itu.

Pupuslah senyum keluarga itu, rusaklah acara kangen-kangenan keluarga oleh kalimat tersebut. Si empunya suara mungkin hanya melihat dari jeruk masam itu, tapi ia tak mampu melihat apa yang sudah dilakukan satu keluarga itu untuk bisa membawa sekantong jeruk yang boleh jadi harganya tak seberapa.

Harga sekantong jeruk mungkin tak lebih dari sepuluh ribu rupiah. Tapi tahukah seberapa besar pengorbanan yang dilakukan satu keluarga itu untuk membelinya?
Rumahnya sangat jauh dari rumah tempat acara keluarga, dan sedikitnya tiga kali tukar angkutan umum. Sepuluh ribu itu seharusnya bisa untuk makan satu hari satu keluarga. Boleh jadi mereka akan menggadaikan satu hari mereka tanpa lauk pauk di rumah. Atau jangan-jangan pagi hari sebelum berangkat, tak satu pun dari anggota keluarga itu sempat menyantap sarapan karena uangnya dipakai untuk membeli jeruk. Yang lebih parah, mungkin juga mereka rela berjalan kaki dari jarak yang sangat jauh dan memilih tak menumpang satu dari tiga angkutan umum yang seharusnya. "Ongkos bisnya kita belikan jeruk saja ya, buat bawaan. Nggak enak kalau nggak bawa apa-apa," kata si Ayah kepada keluarganya.

Kalimat sang Ayah itu, hanya bisa dijawab dengan tegukan ludah kering si kecil yang sudah tak sanggup menahan lelah dan panas berjalan beberapa ratus meter. Tak tega, Ayah yang bijak itu pun menggendong gadis kecil yang hampir pingsan itu. Ia tetap memaksakan hati untuk tega demi bisa membeli harga dari di depan keluarga besarnya walau hanya dengan sekantong jeruk. Menahan tangisnya saat mendengar lenguhan nafas seluruh anggota keluarganya sambil berkali-kali membungkuk, jongkok, atau bahkan singgah sesaat untuk mengumpulkan tenaga. Itu dilakukannya demi mendapatkan sambutan hangat keluarga besar karena menjinjing sesuatu.

Setibanya di tempat acara, sebuah rumah besar milik salah satu keluarga jauh yang sukses, menebar senyum di depan seluruh keluarga yang sudah hadir sambil bangga bisa membawa sejinjing jeruk, lupa sudah lelah satu setengah jam berjalan kaki, tak ingat lagi terik yang memanggang tenggorokan, bertukar dengan sejumput rindu berjumpa keluarga. Namun, terasa sakit telinga, layaknya dibakar dua matahari siang. Lebih panas dari sengatan yang belum lama memanggang kulit, ketika kalimat itu terdengar, "Jeruk asam begini kok dibawa..."

Duh. Jika semua tahu pengorbanan yang dilakukan satu keluarga itu untuk bisa menjinjing sekantong jeruk tadi, pastilah semua jeruk asam itu akan terasa manis. Jauh lebih manis dari buah apa pun yang dibawa keluarga lain yang tak punya masalah keuangan. Yang bisa datang dengan kendaraan pribadi atau naik taksi dengan ongkos yang cukup untuk membeli seperti jeruk manis dan segar.

Mampukah kita melihat sedalam itu? Sungguh, manisnya akan terasa lebih lama, meski jeruknya sudah dimakan berhari-hari yang lalu.

Bayu Gawtama

Tuesday, October 31, 2006

Assalamu'alaikum..

dengan sebuah perkenalan malu-malu dan penuh kerendahan hati, saya menghaturkan ucapan selamat datang buat semua yang sudah menyempatkan diri untuk datang..

ndak ada hal baru yang bisa tawarkan di sini kecuali sepenggal demi sepenggal kisah dari saya.. sebagian perjalanan hidup saya.. pikiran, harapan, dan kutipan-kutipan berharga dari guru saya : sahabat-sahabat saya..

terima kasih, sahabat..

untuk anda semualah, sahabat-sahabatku, blog ini hadir dalam sejarah hidup manusia lemah bernama yoga.. selamat membaca.. selamat mencerna dan menikmati.. semoga bermanfaat


wassalamu'alaikum,
Arya Yoga Rudhita