Wednesday, November 29, 2006

Bahagia Tanpa Syarat



Kadang kita sering terjebak dengan cara pikir seperti ini. Cara berpikir bahwa kebahagiaan itu adalah bersyarat. Contohnya: saya akan bahagia kalau sudah punya rumah sendiri, saya akan bahagia kalau sudah punya mobil, saya akan bahagia kalau punya istri cantik, saya akan bahagia kalau punya anak laki-laki, saya akan bahagia kalau....

Untuk mendapatkan bahagia bersyarat itu kita pun dengan semangat 45 siang malam mengejarnya. Tapi, ada pertanyaan lain. Apakah ada jaminan kalau syarat itu didapat, otomatis kebahagiaan itu juga tercapai? Kalau tidak bagaimana? Padahal kita sudah melakukan segala daya upaya dan pengorbanan untuk mencapainya. Ada orang yang mengorbankan harga dirinya untuk mencapai itu, misalnya dengan korupsi. Ada yang mengorbankan waktu yang berharga dengan keluarga. Ada yang mengorbankan integritas dirinya dengan menjadi penipu dan manipulator demi tujuan itu.

Kita terjebak untuk menempatkan rasa bahagia itu kepada yang bersifat materi dan di luar diri kita. Ada seorang suami yang akhirnya stress setelah membelikan mobil mewah untuk istrinya. Si istri bukannya semakin senang dan bersyukur, malah setiap hari kerjaannya ngedumel terus karena sopir pribadinya banyak tingkah. Ada seorang super kaya yang setiap hari stress memikirkan penampilannya. Dia stress karena tidak ingin berpakaian yang sama setiap hari.

Di sisi lain, ada sebuah keluarga yang berkumpul dan tertawa riang menyaksikan sebuah acara dari sebuah pesawat televisi kecil dan butut. Nampaknya keluarga itu begitu bahagia dan menikmati kegembiraan yang sederhana dan murah meriah itu.

Jadi, pada akhirnya kalau kita menggantungkan kebahagiaan itu kepada sesuatu, apakah itu benda materi, kondisi tertentu, orang lain, niscaya akan kecewa. Kebahagiaan tidak membutuhkan itu semua. Semua itu sudah ada dalam diri kita sendiri. Kebahagiaan itu tidak mahal. Kebahagiaan itu bisa hadir tanpa syarat macam-macam.

Tulisan ini juga sekaligus otokritik bagi diri saya pribadi. Kadang saya juga menemukan diri saya terjebak dalam kondisi ini. Tapi minimal saya sadar, bahwa itu salah dan tidak terjebak di dalam cara berpikir seperti ini.


Badroni Yuzirman

Thursday, November 02, 2006

"Pernahkah Anda merasa benar-benar memiliki sesuatu?"


Saya sungguh kaget ketika seorang sahabat saya mengajukan pertanyaan seperti itu. Sepintas sepertinya teramat mudah untuk menjawabnya, namun saya tak ingin terjebak dalam kalimat yang biasa ia lontarkan. Saya tahu, ia tak pernah bermain-main dengan kata-katanya, dan memang inilah yang membuat saya amat bersyukur menjadi sahabatnya. Perlu Anda tahu, sampai sahabat saya itu pamit meninggalkan saya, saya benar-benar tak mampu menjawab pertanyaan tersebut.

Malam harinya saya terus memikirkan pertanyaan itu, "Pernahkah saya merasa benar-benar memiliki sesuatu?", pertanyaan itu terus berulang-ulang menari di benak saya. Kemudian saya pandangi isteri saya yang sudah tertidur. Saya menikahinya beberapa tahun lalu dan semakin hari cinta saya terhadapnya makin tak ternilai. Sebegitu tingginya, saya sering merasa takut kehilangan dirinya. Tapi, apakah saya benar-benar berhak memilikinya?

Saya melangkah ke kamar anak-anak, dan dua bidadari cantik itu tengah lelap terbuai mimpi. Apapun akan saya lakukan, berapa pun harganya akan saya bayarkan untuk membuat anak-anak saya bahagia. Demikian besar cinta saya terhadap mereka, sehingga saya sering menangis takut kehilangan saat mereka sakit, meski sekadar flu atau badannya terasa hangat. Tapi, apa hak saya merasa takut kehilangan mereka? Apakah mereka benar-benar milik saya?

Dua bulan lalu ketika mengalami kecelakaan motor, kaki dan tangan saya terluka. Tapi entah kenapa ada hati yang tak rela, seolah hati ini terluka lebih parah dari kaki dan tangan saya yang berdarah melihat motor yang belum sebulan saya beli itu rusak berantakan. Bahkan ketika motor itu tergores sedikit, seolah hati ini ikut merasa perih tergores. Bolehkah saya benar-benar merasa seperti itu?

Bisa dibilang saya termasuk orang yang lumayan sering kehilangan telepon selular. Dalam hitungan saya, sudah lima kali saya kehilangan alat komunikasi itu. Waktu pertama kali kehilangan ponsel delapan tahun yang lalu, tubuh saya lemas seperti kehilangan separuh energi. Saya benar-benar seperti kehilangan separuh jiwa saya. Namun untuk kali kesekian saya menjadi terbiasa, nampaknya saya mulai bisa ikhlas ketika ponsel saya hilang untuk kali ketiga, keempat dan kelima. Tapi kenapa sampai detik ini saya masih hapal betul merek, type, dan detil-detil semua ponsel yang pernah hilang itu? Sebegitu dalamkah saya merasa mencintai semua yang pernah saya miliki? Benarkah saya sudah ikhlas untuk semua kehilangan itu?

Maafkan saya sahabat, saya benar-benar belum mampu menjawab pertanyaan itu, setidaknya saat ini. Mungkin nanti menunggu saya memperbaiki tatanan hati saya, agar benar-benar siap jika kelak saya kehilangan sesuatu yang saya miliki saat ini. Saya memang benar-benar takkan pernah selamanya memiliki apa yang pernah saya raih. Semua yang ada saat ini sebelumnya tidak pernah ada, lalu ada dan menjadi milik saya. Namun setiap sesuatu yang awalnya tidak ada, pastilah akan berakhir kepada ketiadaan.

Saya tidak pernah benar-benar membeli sesuatu, semua itu datang karena ada yang memberi. Maka kalau Si Pemberi itu memintanya kembali, tidaklah ada hak saya untuk sakit hati atau kecewa, juga sedih. Berat, tapi saya harus bisa!

Bayu Gawtama
Jeruk Busuk Rasa Manis..



Suatu hari, ketika saya sedang menjenguk salah satu saudara yang tengah dirawat di rumah sakit, terdengar suara makian keras dari pasien sebelah, "Bawa jeruk kok busuk, mau ngeracunin saya? biar saya cepat mati?"

Suara marah itu berasal dari lelaki tua yang kedatangan salah satu keluarganya dengan membawa jeruk. Boleh jadi benar, bahwa beberapa jeruk dalam jinjingan itu busuk atau masam. Meski tidak semua jeruk yang dibawanya itu busuk dan sangat kebetulan yang terambil pertama oleh si pasien yang busuk. Dan tanpa bertanya lagi, marahlah ia kepada si pembawa jeruk.

Sebenarnya, boleh dibilang wajar jika seorang pasien marah lantaran kondisinya labil dan kesehatannya terganggu. Ketika ia marah karena jeruk yang dibawa salah satu keluarganya itu busuk, mungkin itu hanya pemicu dari segunung emosi yang terpendam selama berhari-hari di rumah sakit. Penat, bosan, jenuh, mual, pusing, panas, dan berbagai perasaan yang menderanya selama berhari-hari, belum lagi ditambah dengan bisingnya rumah sakit, perawat yang kadang tak ramah, keluarga yang mulai uring-uringan karena kepala keluarganya sekian hari tak bekerja, semuanya membuat dadanya bergemuruh. Lalu datanglah salah satu saudaranya dengan setangkai ketulusan berjinjing jeruk. Namun karena jeruk yang dibawanya itu tak bagus, marahlah ia.

Wajar. Sekali lagi wajar. Tetapi tidak dengan peristiwa lain yang hampir mirip terjadi di acara keluarga besar belum lama ini. Seorang keluarga yang tengah diberi ujian Allah menjalani kehidupannya dalam ekonomi menengah ke bawah, berupaya untuk tetap berpartisipasi dalam acara keluarga besar tersebut. Tiba-tiba, "Kalau nggak mampu beli jeruk yang bagus, mending nggak usah beli. Jeruk asam gini siapa yang mau makan?" suara itu terdengar di tengah-tengah keluarga dan membuat malu keluarga yang baru datang itu.

Pupuslah senyum keluarga itu, rusaklah acara kangen-kangenan keluarga oleh kalimat tersebut. Si empunya suara mungkin hanya melihat dari jeruk masam itu, tapi ia tak mampu melihat apa yang sudah dilakukan satu keluarga itu untuk bisa membawa sekantong jeruk yang boleh jadi harganya tak seberapa.

Harga sekantong jeruk mungkin tak lebih dari sepuluh ribu rupiah. Tapi tahukah seberapa besar pengorbanan yang dilakukan satu keluarga itu untuk membelinya?
Rumahnya sangat jauh dari rumah tempat acara keluarga, dan sedikitnya tiga kali tukar angkutan umum. Sepuluh ribu itu seharusnya bisa untuk makan satu hari satu keluarga. Boleh jadi mereka akan menggadaikan satu hari mereka tanpa lauk pauk di rumah. Atau jangan-jangan pagi hari sebelum berangkat, tak satu pun dari anggota keluarga itu sempat menyantap sarapan karena uangnya dipakai untuk membeli jeruk. Yang lebih parah, mungkin juga mereka rela berjalan kaki dari jarak yang sangat jauh dan memilih tak menumpang satu dari tiga angkutan umum yang seharusnya. "Ongkos bisnya kita belikan jeruk saja ya, buat bawaan. Nggak enak kalau nggak bawa apa-apa," kata si Ayah kepada keluarganya.

Kalimat sang Ayah itu, hanya bisa dijawab dengan tegukan ludah kering si kecil yang sudah tak sanggup menahan lelah dan panas berjalan beberapa ratus meter. Tak tega, Ayah yang bijak itu pun menggendong gadis kecil yang hampir pingsan itu. Ia tetap memaksakan hati untuk tega demi bisa membeli harga dari di depan keluarga besarnya walau hanya dengan sekantong jeruk. Menahan tangisnya saat mendengar lenguhan nafas seluruh anggota keluarganya sambil berkali-kali membungkuk, jongkok, atau bahkan singgah sesaat untuk mengumpulkan tenaga. Itu dilakukannya demi mendapatkan sambutan hangat keluarga besar karena menjinjing sesuatu.

Setibanya di tempat acara, sebuah rumah besar milik salah satu keluarga jauh yang sukses, menebar senyum di depan seluruh keluarga yang sudah hadir sambil bangga bisa membawa sejinjing jeruk, lupa sudah lelah satu setengah jam berjalan kaki, tak ingat lagi terik yang memanggang tenggorokan, bertukar dengan sejumput rindu berjumpa keluarga. Namun, terasa sakit telinga, layaknya dibakar dua matahari siang. Lebih panas dari sengatan yang belum lama memanggang kulit, ketika kalimat itu terdengar, "Jeruk asam begini kok dibawa..."

Duh. Jika semua tahu pengorbanan yang dilakukan satu keluarga itu untuk bisa menjinjing sekantong jeruk tadi, pastilah semua jeruk asam itu akan terasa manis. Jauh lebih manis dari buah apa pun yang dibawa keluarga lain yang tak punya masalah keuangan. Yang bisa datang dengan kendaraan pribadi atau naik taksi dengan ongkos yang cukup untuk membeli seperti jeruk manis dan segar.

Mampukah kita melihat sedalam itu? Sungguh, manisnya akan terasa lebih lama, meski jeruknya sudah dimakan berhari-hari yang lalu.

Bayu Gawtama

Tuesday, October 31, 2006

Assalamu'alaikum..

dengan sebuah perkenalan malu-malu dan penuh kerendahan hati, saya menghaturkan ucapan selamat datang buat semua yang sudah menyempatkan diri untuk datang..

ndak ada hal baru yang bisa tawarkan di sini kecuali sepenggal demi sepenggal kisah dari saya.. sebagian perjalanan hidup saya.. pikiran, harapan, dan kutipan-kutipan berharga dari guru saya : sahabat-sahabat saya..

terima kasih, sahabat..

untuk anda semualah, sahabat-sahabatku, blog ini hadir dalam sejarah hidup manusia lemah bernama yoga.. selamat membaca.. selamat mencerna dan menikmati.. semoga bermanfaat


wassalamu'alaikum,
Arya Yoga Rudhita